Selasa, 27 Mei 2014

ARTIKEL TUBERKOLOSIS



TUGAS BAHASA INDONESIA
NAMA             :TIA DESTIANA
NPM               :13142013004
KELAS          :PSIK A1/2
A.     Pengertian
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini dapat merupakan organisme patogen maupun.
saprofit. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 µm, ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah merah.

B.    Penyebab/faktor predisposisi
Penyebabnya adalah kuman microorganisme yaitu basil mycobacterium tuberculosis tipe humanus dengan ukuran panjang 1 – 4 um dan tebal 1,3 – 0,6 um, termasuk golongan bakteri aerob gram positif serta tahan asam atau basil tahan asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik karena sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid).
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya.

C.    Patologi/Patofisiologi terjadinya tuberculosis paru
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droflet nuklei dalam udara oleh individu yang terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droflet nuclei. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1 – 2 jam. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam suasana yang gelap dan lembab kuman dapat bertahan sampai berhari – hari bahkan berbulan, bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang yang sehat akan menempel pada alveoli kemudian partikel ini akan berkembang bisa sampai puncak apeks paru sebelah kanan atau kiri dan dapat pula keduanya dengan melewati pembuluh limfe, basil berpindah kebagian paru – paru yang lain atau jaringan tubuh yang lain.

D.    Klasifikasi
Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi. Klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:
1.    TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
Ø  Dengan atau tanpa gejala klinik
Ø  BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
Ø  Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
2.    TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
Ø  Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
Ø  BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
3.    Bekas TB Paru dengan kriteria:
Ø  Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negative
Ø  Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
Ø  Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah.
Ø  Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).

E.     Gejala klinis
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimptomatik.

Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik:
1.    Gejala respiratorik, meliputi:
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2.    Gejala sistemik, meliputi:
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya. Sedangkan masa bebas serangan makin pendek.

b. Gejala sistemik lain
Keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
3.    Gejala klinis Haemoptoe:
Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Batuk darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif

2. Muntah darah
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif

3. Epistaksis
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi



TUGAS METODOLOGI KEPERAWATAN TENTANG HIPERTENSI



LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DIAGNOSA MEDIS EPILEPSI
Tugas Pada Mata Kuliah Metodologi Keperawatan
Program Study Keperawatan Kelas Reg A1 semester 2
Dosen
Aris Citra Wisuda S.Kep, Ners

Di susun Oleh:
Tia Destiana
NPM: 13.14201.30.04

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA
PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2013/2014


Laporan Pendahuluan
 Epilepsi
A.    Pengertian
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000)
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (Anonim, 2008).
B.     Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th):Hipoksia dan iskemia paranatal
Anak (2- 12 th): Idiopatik,Infeksi akut,Trauma,Kejang demam
Remaja (12- 18 th): Idiopatik,Trauma,Gejala putus obat dan alcohol,Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) :Trauma,Alkoholisme,Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) :Tumor otak,Penyakit serebrovaskular,Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll ).
C.                 PATOFISIOLOGI
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis.
D.    Manifestasi klinik
·      Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan.
·      Kelainan gambaran EEG
·      Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen.
·      Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya).
E.     Klasifikasi kejang
1.      Kejang Parsial
·      Parsial Sederhana
Gejala dasar, umumnya tanpa gangguan kesadaran. Misal: hanya satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak umum/tdk nyaman.
·       Parsial Kompleks
Dengan gejala kompleks, umumnya dengan ganguan kesadaran. Dengan gejala kognitif, afektif, psiko sensori, psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, tetapi individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat.
2.   Kejang Umum (grandmal)
Melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi Terjadi kekauan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik) Disertai dengan penurunan kesadaran.
F.      Pemeriksaan Diagnostik
1.   Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
·      Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
·      Mengalami complex partial seizure
·       Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya).
·      Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat).
·      Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal
·       Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2.    EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.

3.   Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4.   Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
G.    Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
H.    Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
I.        KOMPLIKASI
·      Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang
·      Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.

ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN DIAGNOSA MEDIS EPILEPSI
Pengkajian Keperawatan Diagnosa Medis Epilepsi
1.      Aktifitas atau istirahat
Gejala: terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
2.      Sirkulasi
Tanda :
·         Dapat terjadi apnea
·         Penurunan kesadaran
·         Nafsu makan menurun
·         Berat badan pasien menurun
3.      Makanan / cairan
Gejala :nafsu makan menurun , inkontinensia
4.      Neurosensori
Gejala : oliguria atau dapat terjadi inkontinensia alfi
5.      Kejang / kenyamanan : penurunan kesadaran, gangguan konsep diri.
6.      Pernapasan : oliguria atau dapat terjadi inkontinensia.
                                                                                 




Diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan pada
Epilepsi
1.      Diagnosa I
Resiko tinggi terhadap trauma, penghentian pernapasan b/d kelemahan, kesulitan kesimbangan, keterbatasan kognitif, kehilangan koordinasi otot besar atau kecil, kesulitan emosional
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Hasil yang diharapkan :
a. Mampu mengungkapkan pemaham faktor yang menunjang kemunginan trauma
b. Mendemonstrasikan perilaku perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko
c. Mampu mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
2.      Diagnosa II
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea.
3.      Diagnosa III
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat.
Diagnosa
Data fokus
Etiologi
Problem
Dx I
Ds :pasien mengatakan lemas
Do: pasien terlihat pucat.
-pasien terlihat merintih kesakitan.
kelemahan, kesulitan kesimbangan, keterbatasan kognitif, kehilangan koordinasi otot besar atau kecil, kesulitan emosional
Resiko tinggi terhadap trauma, penghentian pernafasan.
Dx II
Ds :pasien mengatakan kesulitan bernafas
Do : respirasi diatas normal
sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Dx III
DS: klien terlihat cemas, gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas cepat atau tidak teratur Terjadi kejang epilepsi

rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat.
Isolasi sosial







Diagnosa prioritas :
1.      Resiko tinggi terhadap trauma, pengehentian pernapsan b/d kelemahan, kesulitan kesimbangan, keterbatasan kognitif, kehilangan koordinasi otot besar atau kecil, kesulitan emosional
2.      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3.      Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Dx
Tujuan
Intervensi keperawatan
Rasional
Dx I
Setelah dilkukan askep 2x24 jam diharapkan masalah resiko tinggi terhadap trauma dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-Mampu mengungkapkan pemaham faktor yang menunjang kemunginan trauma
-Mendemonstrasikan perilaku perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko
-Gali bersama sama pasien berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang
-Pertahankanlah bantalan lunak pada penghalang temapt tidur

-alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain dapat meningkatkan resiko terjadinya kejang.
- mengurangi trauma saat kejang selama pasien berada ditempat tidur
Dx II
Setelah dilakukan askep 2x24 jam diharapkan masalah Ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi dengan kriteria hasil:
-nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea.

·      Pantau frekuensi pernafasan, kedalaman dan kerja pernafasan.
·      Perhatikan kualitas pernafasan
Kolaborasi pemberian therapi Ogsigen bila perlu
.
·     Berkembangnya distress pada pernapasan merupakan indikasi kompresi trakhea karena adanya edema atau perdarahan.
·     Memonitor & mengkaji terus menerus dapat membantu untuk mende-teksi & mencegah masalah pernafasan.
Dx III
Setelah dilakukan askep 2x24 jam diharapkan isolasi sosial dapat teratasi dengan kriteria hasil : - adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat.
- Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
-Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
-Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
-Kolaborasi dengan tim psikiater                          


Membantu dalam peningkatan pengetahuan pasien.
-memperhatikan dan menanggapi diperlukan untuk membangun sebuah kepercayaan.




Catatan perkembangan
Dx
Implementasi
Evaluasi
Dx I
Menggali bersama sama pasien berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang.
-mempertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur.

S : pasien mengatakan lemas
O : pasien terlihat merintih kesakitan
A: masalah gangguan rasa nyaman
P : lanjut intervensi
-pertahankan bantal lunak pada penghalang tempat tidur.
Dx II
·      memantau frekuensi pernafasan, kedalaman dan kerja pernafasan.
·      memperhatikan kualitas pernafasan.
·      mengkolaborasi pemberian therapi Oksigen bila perlu

S : pasien mengatakan kesulitan bernafas.
O :respirasi diatas normal.
A : masalah Resiko bersihan jalan nafas tidak efektif belum teratasi.
P : lanjut intervensi
-pemberian therapy oksigen,
Dx III
mengIdentifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
-Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien.
-mendukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
-mengKolaborasi dengan tim psikiater
S : pasien mengatakan tidak mengetahui penyakit yang diderita.
O : pasien terlihat bingung.
A : masalah kurang pengetahuan belum teratasi
P : lanjut implementasi
-mengkaji tingkat pemahaman pasien.

Catatan perkembangan :
Dx
Implementasi
Evaluasi
Dx I
mempertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur.
S : pasien mengatakan tidak lemas lagi.
O: pasien terlihat membaik.
A : masalah resiko tinggi terhadap trauma.
P : lanjut intervensi :
-menganjurkan pasien untuk banyak istirahat.
Dx II
- mempertahankan klien dalam posisi semi fowler.

S : pasien mengatakan Resiko bersihan   jalan nafas tidak efektif  dapat teratasi.
O : Pasien tampak tidak ada kesulitan pernafasan, tidak mengeluh sesak nafas.
A : masalah bersihan jalan nafas tidak efektif teratasi.
P : lanjut intervensi :
-menganjurkan pasien untuk banyak istirahat dirumah.

Dx III
-mendukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
-mengKolaborasi dengan tim psikiater
S : Pasien mengatakan mengetahui penyakit yang diderita
O: Pasien terlihat membaik.
A: Masalah isolasi sosial teratasi.
P: lanjut intervensi :
-menganjurkan pasien untuk lebih percaya diri.



Daftar pustaka :
http://putrisayangbunda.blog.com/2010/02/10/askep-epilepsi/
http://abdul-mufti.blogspot.com/2009/12/asuhan-keperawatan.html